Siapa Bilang Kerja Ikhlas Bukan Investasi?
By : Ihza Nurman A
Belasan tahun yang lalu …
Seorang
mahasiswa bertubuh kurus kering mendatangi sebuah warung makan yang terletak di
dekat kampusnya, UNPAD di jl. Dipati Ukur.
Kampus sebuah perguruan tinggi negeri favorit di Bandung. Ibu pemilik warung
yang memang biasa melayani para mahasiswa tersebut menyambutnya dengan ramah.
”Silahkan Dik, mau makan nasi
pakai lauk apa?” tanyanya.
”Kalau sebungkus nasi harganya berapa Bu?” si mahasiswa balik bertanya.
”Kalau sebungkus nasi harganya berapa Bu?” si mahasiswa balik bertanya.
”Lima ratus rupiah, Dik. Lauknya mau apa saja? Silahkan
pilih”, jawab si pemilik warung.
”Kalau sepotong daging rendang harganya berapa Bu?” tanya si mahasiswa lagi.
”Kalau sepotong daging rendang harganya berapa Bu?” tanya si mahasiswa lagi.
”Dua ribu saja”, jawab si pemilik
warung.
Si mahasiswa terlihat mengerenyitkan dahi dan berpikir. ”Kalau sayur lodeh jadi berapa Bu?” tanyanya lagi.
Si mahasiswa terlihat mengerenyitkan dahi dan berpikir. ”Kalau sayur lodeh jadi berapa Bu?” tanyanya lagi.
Begitu seterusnya si mahasiswa menanyakan satu persatu
harga masakan yang ada di warung itu. Setiap kali diberitahu harganya, si
mahasiswa terlihat terdiam sejenak dan terus menanyakan harga masakan lainnya
yang ada di warung itu. Sementara sang
pemilik warung berusaha menjawab satu persatu dengan sabar.
Sampai akhirnya si mahasiswa
bertanya, ”Kalau kuahnya saja tanpa tanpa daging berapa Bu?”
”Oh, kalau kuahnya gratis, Dik”, jawabnya.
”Oh, kalau kuahnya gratis, Dik”, jawabnya.
”Oh…., kalau begitu saya beli nasi satu porsi saja tetapi
disiram kuah rendang atau kuah soto. Jadi
hanya lima ratus rupiah ya Bu,” kata si mahasiswa sambil mengeluarkan uang lima
ratus rupiah.
”Mohon maklum ya Bu, uang kiriman orang tua saya sangat
terbatas. Sedangkan saya harus segera menyelesaikan skripsi saya yang
membutuhkan banyak biaya. Jadi terpaksa harus ngirit”, katanya dengan nada
malu-malu.
”Pasti mahasiswa ini berasal dari keluarga miskin yang
tinggal di luar kota”, pikir sang pemilik warung. ”Tetapi dia pasti membutuhkan
banyak gizi agar dapat cepat menyelesaikan skripsinya”, pikirnya lagi.
Sang ibu pemilik warung yang merasa iba lalu menyelipkan
sepotong telur yang tidak terlihat di bagian tengah nasi yang dibungkusnya,
sebelum menyiramnya dengan kuah rendang.
Keesokan harinya, si mahasiswa kembali ke warung
tersebut. Dia hanya berkata dengan malu-malu, ”Beli nasi seperti yang kemarin,
ya Bu. Disiram kuah rendang atau kuah soto…”. Lalu dia membayar lima ratus
rupiah saja dan tidak berkata apa-apa lagi.
Begitu seterusnya. Setiap hari si mahasiswa pendiam
memesan makanan yang sama dan si pemilik warung selalu tak pernah lupa
menyelipkan sebutir telur, terkadang sepotong daging rendang ke dalam nasi yang
dibungkusnya. Sang pemilik warung melakukan ini dengan hati yang ikhlas ingin
membantu si mahasiswa miskin tersebut.
Setelah beberapa minggu berlalu, si mahasiswa itu
tiba-tiba menghilang. Dia tidak pernah menampakkan diri lagi di warung itu.
”Mungkin dia sudah lulus menjadi sarjana dan kembali ke kota asalnya”, pikir
sang pemilik warung. Sang pemilik warung pun melupakannya.
Belasan tahun kemudian…
Sang pemilik warung benar-benar sedang kalut. ”Hari ini
adalah hari terakhir warung kita buka. Besok warung kita akan digusur karena
ada pembangunan monumen xxxxxxxxx”, katanya kepada anak-anaknya sambil
berlinang air mata. Anak-anaknya yang masih kuliah serta yang masih duduk di
bangku SMA duduk diam terpaku merenungi nasib mereka.
”Ya, Tuhan…! Dengan apa aku harus membiayai sekolah
anak-anakku setelah warung ini digusur?”, jeritnya dalam hati.
Semakin sesak perasaan hatinya, kala teringat uang
tabungannya yang telah ludes untuk membiayai pengobatan rumah sakit anaknya
yang bungsu. Tidak ada lagi uang untuk biaya membuka warung di tempat lain.
Tiba-tiba saja, sebuah mobil berhenti tepat di depan
warungnya. Seorang pria berdasi yang tidak dikenalnya menghampiri dan berkata,
”Bu, besok warung ini akan digusur bukan? Apakah Ibu sudah memutuskan akan
pindah ke mana?” tanyanya lagi.
”Belum, Pak…”, jawab sang pemilik warung dengan
terbata-bata.
”Bagus! Kalau begitu, mulai besok Ibu bisa berjualan di
kantin kami di gedung perkantoran xxxxxx”, katanya menyebutkan sebuah gedung
perkantoran yang cukup megah di pusat kota Bandung.
”Tapi Pak, kami tidak mampu membayar biaya sewanya. Apalagi
di gedung itu, pasti mahal sekali biaya sewanya”, kata sang pemilik warung.
”Ibu tenang saja … karena di sana Ibu tidak usah membayar
sewa sama sekali. Tempat untuk Ibu berjualan sudah disediakan oleh Direktur
perusahaan kami. Ibu boleh memakainya untuk berjualan makanan sampai kapan pun
Ibu mau.”
”Haaahh…! Siapa direktur itu? Saya tidak punya kenalan
direktur…”, kata sang pemilik warung dengan sangat terkejut.
”Saya sendiri tidak begitu mengenalnya… karena saya staf
baru di perusahaan kami”, kata si pria tersebut. ”Tetapi Pak Direktur titip
pesan, katanya dahulu sewaktu kuliah dia sangat menyukai telur dan daging
rendang masakan Ibu. Mulai besok dia ingin makan masakan itu lagi di
kantornya…”.
* * *
Dari peristiwa itu, saya bisa belajar satu hal bahwa
kebaikan yang dijalankan dengan hati penuh ikhlas adalah investasi. Semua
Investasi pasti akan menghasilkan. Investasi kebaikan saat ini akan
menghasilkan kebaikan pula di kemudian hari, walau pun kita belum tahu wujud
kebaikan yang akan terjadi nanti.
Dengan bekerja ikhlas kita tidak memperdulikan balasan
atau pun imbalan dari perbuatan kita. Seperti matahari pagi yang tetap bersinar
setiap pagi, tidak pernah mengharapkan sinarnya dipantulkan kembali kepada
matahari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar